Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak
karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois.
Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis,
pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan
keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi
dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri
(istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau
mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang
berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci.
Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia
mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi
untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih
menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai kemanunggalan
kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu
mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi
secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari
kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya.
Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam
tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
- Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
- Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar atau nafsu golek benere dhewe.
- Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam
menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa
sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk
lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan
pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti
mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku,
tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah
ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah
jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran
Islam) yang digunakan untuk meraih marifatullah,
nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut
catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun
akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan
Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.
Penjelasan tentang Nafsu / Hawa Nafsu dan silahkan lihat Disini
No comments:
Post a Comment